Oleh : Ir. Retno Sukmaningrum, M.T.
Ingin berpestasi, berhasil dan sukses dalam kehidupan adalah suatu
hal yang fitrah ada pada setiap diri manusia, termasuk pada diri
muslimah. Maka tidak heran bila pada fakta hari ini menunjukkan para
muslimah berlomba-lomba untuk meraih prestasi tersebut. Dorongan
berekspresi dan berprestasi – pada hari ini – seolah disambut dengan
berbagai event yang bisa menjadi ajang unjuk ekspresi dan prestasi.
Disamping itu, dengan merebaknya paham sekularisme di tengah-tengah
kaum muslimin yang melahirkan kebebasan dan gaya hidup
individualis-materialistis rupanya telah memberikan pengaruh besar
kepada muslimah dan mengkondisikan mereka untuk menerima apapun demi
meraih sebuah prestasi dalam kehidupan. Dalam paham sekularis kapitalis
yang berstandar kemanfaatan, kebahagiaan diukur dengan
nilai-nilai yang
bersifat duniawi, seperti terpenuhinya sebanyak mungkin kebutuhan
jasmani atau sebanyak mungkin materi yang dihasilkan. Akhirnya,
perempuan muslimah pun bersaing dengan kaum pria untuk
berprestasi-menghasilkan karya dan mendapatkan materi yang
sebanyak-banyaknya. Para wanita bersaing denga pria untuk merebut posisi
tertinggi dalam suatu pekerjaan, lembaga, bahkan dalam pemerintahan;
tanpa mencermati terlebih dahulu-apakah langkah tersebut dibolehkan atau
tidak oleh Islam.Mereka bangga menjadi seseorang yang mampu memberi
konstribusi besar secara materi kepada keluarga. Sebaliknya, mereka
nyaris menanggalkan kebanggaannya menjadi seorang muslimah, serta
kemuliaannya sebagi istri dan ibu, pengasuh dan pendidik bagi anak-anak
dan masyarakat.
Islam – Persepsi yang Shahih
Sebelum mendudukkan sosok muslimah prestatif dalam pandangan Islam,
tentunya harus didudukkan terlebih dahulu mengapa harus dari sudut
pandang Islam dalam menetapkan prestasi seorang muslimah.
Satu-satunya persepsi yang shahih tentang kehidupan dan apapun yang
ada dalam kehidupan –termasuk definisi kebaikan- hanyalah Islam. Ini
tidak lain karena hanya Islam-lah diin yang berasal dari Dzat yang Maha
Sempurna, Maha Benar dan Maha Mengetahui hakikat manusia, Sang Pencipta
alam semesta, Allah SWT. Karena berasal dari Dzat yang Maha Sempurna,
Islam juga merupakan satu-satunya diin yang sempurna.
Kesempurnaan Islam itu dapat dilihat dari kelengkapannya, dimana
Islam bukan hanya memiliki pemahaman tentang aqidah (konsep keimanan)
dan ibadah maghdlah (ritual), akan tetapi Islam juga memiliki
aturan-aturan kemasyarakatan dan kenegaraan: sistem pergaulan, sistem
pendidikan, sistem persaksian dan sanksi/pidana, sistem ekonomi, sistem
pemerintahan, serta gambaran utuh tentang negara. Berbagai ayat Al
Qur’an dan Hadits menunjukkan bahwa Islam mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia: hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan dengan
dirinya sendiri dan hubungan dengan orang lain.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah
kucukupkan ni’mat-Ku dan telah Kuridlai Islam menjadi agama bagimu”
[TQS. Al Maaidah 3]
Kesempurnaan Islam juga terlihat dari keandalannya dalam
memecahkan persoalan-persoalan manusia –siapapun dia, kapanpun dan
dimanapun-. Keandalannya telah terbukti dalam sejarah dimana ketika kaum
muslimin menerapkan Islam secara kaaffah dalam kehidupannya,
ternyata mereka menjadi suatu kaum yang memiliki ketinggian peradaban,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keluasan wilayah, yang
mampu bertahan selama kurang lebih 13 abad dan tiada bandingannya hingga
sekarang. Selama itu, bukan hanya kaum muslimin yang merasakan
kemaslahatan, tapi juga orang-orang non muslim, hewan dan tumbuhan. Ini
sesuai dengan janji Allah SWT:
“Dan tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam” [TQS. Al Anbiya 107]
“Dan Kami turunkan Kitab ini kepadamu sebagai penjelasan atas
segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
muslim” [TQS. An Nahl 89]
Dengan demikian, hanya Islam-lah yang seharusnya diambil dalam
menjalani kehidupan, dalam menyelesaikan persoalan dan dalam menentukan:
baik-buruk, benar-salah.
Lebih jauh, bagi seorang muslim – yaitu yang telah mengikrarkan
syahadat-, keterikatan dan ketundukan kepada Islam adalah bukti
keimanannya, sebagaimana firman Allah SWT:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus perkara)
terhadap apa saja yang mereka perselisihkan. Kemudian tidak terdapat
dalam jiwa mereka, keberatan sedikitpun terhadap apapun yang engkau
putuskan dan mereka menerima dengan sepenuh kepasrahan”
[TQS. An Nisa 65]
“Sesungguhnya perkataan (jawaban) orang-orang mu’min jika mereka
diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar (Allah dan Rasul-Nya) menjadi
hakim (pemutus perkara) di antara mereka, mereka mengatakan “Kami
mendengar dan kami taat”
[TQS. An Nuur 51]
Pandangan Islam terhadap perempuan
Keinginan perempuan muslimah untuk berprestasi dalam
kehidupan, mengharuskan pemahaman terhadap pandangan dan aturan Islam
terhadap perempuan. Dengan pemahaman tersebut, seorang perempuan
muslimah akan bisa berjalan di dunia ini secara benar dan mencapai
kemuliaan dan prestasi yang hakiki.
Islam memandang derajat kemuliaan manusia -laki-laki maupun perempuan- ditentukan oleh ketaqwaannya.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi
Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal” [TQS. Al Hujurat 13]
Ayat di atas menjelaskan dengan sangat transparan bahwa kemuliaan
seseorang bukanlah ditentukan oleh status sosial dalam masyarakat, jenis
pekerjaan ataupun jenis kelaminnya.
Islam juga memandang perempuan dan laki-laki adalah sama-sama
manusia, yang memiliki akal, kebutuhan jasmani dan naluri. Karena
kesamaannya tersebut, Allah SWT memberikan peran dan tanggungjawab yang
sama antara laki-laki dan perempuan. Maka terdapatlah kewajiban shalat,
zakat, puasa, berda’wah, bermuamalah Islami yang berlaku baik kepada
laki-laki maupun perempuan.
Namun meski sama-sama manusia, ada hal yang berbeda antara laki-laki
dan perempuan. Hamil, menyusui, melahirkan adalah beberapa hal yang
hanya bisa terjadi pada perempuan, namun tidak pada laki-laki.
Terhadap perbedaan tersebut, Islam memberikan pengaturan yang berbeda
sesuai tabiat kelelakian dan keperempuanan. Semua itu sama sekali bukan
berkaitan dengan siapa yang lebih mampu, siapa yang lebih pintar, dsb.
Maka terdapatlah masalah nafkah, pengasuhan anak, pengaturan rumah
tangga, perwalian, kepemimpinan dalam rumah tangga dan pengaturan urusan
masyarakat, yang pengaturannya dibedakan antara laki-laki dan
perempuan.
Semua pembedaan tersebut tidak bisa dipandang sebagai bentuk
diskriminasi atau ketidakadilan Islam. Ketika Islam menetapkan hanya
laki-laki yang boleh duduk dalam kepemimpinan pemerintahan dan
mengharamkannya untuk perempuan, bukan berarti perempuan lebih rendah
dari laki-laki. Karena –sekali lagi- pandangan Islam, pandangan Allah
SWT, terhadap manusia yang paling mulia adalah karena ketaqwaannya.
Seorang kepala negara tidak otomatis lebih mulia dibanding rakyat.
Seorang suami juga tidak lantas lebih mulia dibanding istri hanya karena
memimpin rumah tangga. Ketaqwaan –yaitu ketundukannya terhadap aturan
Islam-lah yang menentukan kemuliaannya.
Dengan pandangan Islam yang khas tersebut, perempuan dan laki-laki
tidak perlu berebut peran karena toh tetap tidak ada hubungannya dengan
penilaian Allah SWT terhadap mereka. Yang harus dilakukan justru optimal
menjalankan perannya masing-masing dalam rangka berlomba-lomba meraih
pahala dan ridla Allah SWT, bersaing menjadi yang paling mulia di
hadapan Allah SWT.
Lebih jauh, jika seluruh nash tentang perempuan dikumpulkan dan
dikaji, kemudian dibandingkan dengan perlakuan sistem atau aturan lain
selain Islam, tampaklah bahwa Islam sangat memuliakan perempuan, memberi
kesempatan paling luas terhadap perempuan untuk maju, serta memberikan
perlindungan paling besar bagi perempuan. Subhanallah.
Muslimah Prestatif
Dengan pandangan terhadap perempuan sebagaimana di atas,
maka perempuan yang berprestasi dalam pandangan Islam adalah perempuan
mulia, yaitu perempuan yang bertaqwa. Ia adalah perempuan yang terikat
dan tunduk pada aturan Islam dan terus-menerus meningkatkan
ketundukannya itu sehingga semakin bertambahlah derajat ketaqwaannya dan
–dengan itu- semakin bertambah pula derajat kemuliaannya.
Implementasinya, ia adalah seorang muslimah yang melaksanakan shalat,
puasa, menunaikan zakat, berhaji bila mampu, berpakaian muslimah, makan
dan minum yang halal dan thayyibah, berakhlaq karimah, terus-menerus mengkaji Islam, berda’wah, memperjuangkan tegaknya penerapan aturan Islam kaaffah,
serta –ketika telah berumahtangga- menjalankan peran keibuannya dengan
semangat dan penuh tanggungjawab. Ia akan berusaha menjadi teladan dan
memberikan pendidikan Islami bagi buah hatinya. Ia akan melindungi buah
hatinya dari berbagai bahaya, baik bahaya fisik maupun bahaya racun
pemikiran kufur.
Adapun terhadap suaminya, ia akan menghormati, taat dan selalu
menyenangkan pandangan mata suaminya. Ia amanah terhadap harta suami,
menjaga kehormatan diri dan kepercayaan suami, serta mengatur rumah
tangga dengan penataan dan pengaturan yang membuat rumahnya selalu
dirindukan, membawa ketenangan, serta membuat diri dan suaminya optimal
dalam bersaing mencari pahala dan ridla Allah SWT.
Muslimah prestatif bukan berkaitan dengan kecantikan fisik, banyaknya
materi atau harta yang bisa diusahakan, jabatan atau kedudukan yang
bisa diraih, titel kesarjanaan yang bisa dikejar, atau status sosial
yang bisa digenggam.
Muslimah prestatif adalah seorang muslimah yang pola pikirnya Islam –dia menilai segala sesuatu dengan ukuran Islam (syara’)
serta berbicara dan berpendapat sesuai dengan Islam- dan pola perilaku
(pola jiwa)-nya Islam –dia bertingkahlaku apapun, pasti sesuai dengan
aturan Islam dan menundukkan perasaannya agar sesuai dengan aturan
Islam-. Bahkan, ia terus-menerus mengembangkan dirinya agar tsaqafah Islam-nya
semakin bertambah dan terus-menerus memperkuat perasaannya untuk
semakin cinta dengan aturan Islam dan hanya menginginkan surga dan ridla
Allah SWT. Pikirannya sangat tajam sehingga pendapatnya mampu
menghunjam hingga ke hati, sedangkan jiwanya adalah jiwa yang ikhlas dan
hanif. Malamnya dilalui dengan tangis kerendahan diri pada Allah SWT,
sedangkan siangnya dia adalah seorang ibu tangguh dan pejuang da’wah.
Berjuang Menjadi Muslimah yang Berprestasi
Seorang muslimah yang meyakini kehidupan dunia akan
berakhir dengan perhitungan terhadap seluruh aktivitas di dunia, ia
seharusnya bertekad dan merubah diri menjadi perempuan mulia. Terlebih
Rasulullah Saw menegaskan bahwa :
“Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia
beruntung. Barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia
merugi. Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia
celaka”.
Jika ingin beruntung, tentu muslimah akan berjuang keras agar kualitas ideal cepat tercapai.
Persoalannya, dalam kehidupan dimana aturan Islam belum diterapkan secara kaaffah
dan opini yang berkembang di tengah masyarakat justru bukan berdasarkan
standar Islam, merubah diri bukanlah hal yang mudah. Banyak tantangan
harus dilalui, diantara tantangan tersebut adalah propaganda yang
membiuskan, yang membuat muslimah berpaling dari tujuan semula. Diantara
propaganda dan gagasan yang banyak diusung oleh feminis adalah :
- 1. Laki-laki dan perempuan sama.
Salah satu ide dasar pemikiran feminisme adalah konsep mengenai
kesetaraan jender; bahwa secara jender, laki-laki dan perempuan sama.
Menurut mereka, sekalipun secara biologis laki-laki dan perempuan
berbeda, perbedaan tersebut tidak boleh berimplikasi pada perbedaan
jender, karena perbedaan jender hanya akan memunculkan ketidakadilan
sistemik atas kaum perempuan. Karena dianggap merugikan, mereka
berobsesi untuk mengubah masyarakat yang patriarki ini menjadi
masyarakat berkesetaraan, baik melalui perubahan secara kultural
(seperti melalui perubahan pola pendidikan dan pengasuhan anak,
perubahan ‘persepsi’ keagamaan yang dianggap bias jender, dan lain-lain)
maupun secara struktural (melalui perubahan kebijakan). Mereka
berharap, ketika suatu saat masyarakat bisa memandang perempuan sebagai
manusia (bukan atas dasar kelamin), maka pembagian peran sosial
(domestik vis a vis publik) akan cair dengan sendirinya.
Artinya, semua orang akan mampu berkiprah dalam bidang apapun yang
diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap menyalahi kodrat.
Jika dicermati, secara konseptual maupun praktis, ide kesetaraan
seperti ini sangat absurd dan utopis. Ini karena mereka seolah tak bisa
menerima mengapa manusia harus lahir dengan membawa kodrat maskulinitas
dan feminitasnya, sementara pada saat yang sama mereka tak mungkin
mengabaikan fakta, bahwa manusia memang terdiri dari dua jenis yang
berbeda. Lalu logika apa yang bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa di
dunia harus ada laki-laki dan perempuan dengan ‘bentuk’ dan ‘jenis’ yang
berbeda, jika bukan karena keduanya memang memiliki peran dan fungsi
yang berbeda? Bukankah ketika perempuan memiliki rahim dan
payudara—sementara laki-laki tidak—berarti hanya perempuan yang bisa
hamil, melahirkan, dan menyusui? Bukankah fungsi kehamilan, melahirkan,
dan menyusui ini merupakan fungsi yang tak bisa digantikan laki-laki?
Bukankah ‘aneh’ jika setelah melahirkan kaum perempuan bisa melepas
fungsi dan peran keibuannya dengan alasan perempuan pada dasarnya tidak
harus menjadi ibu sehingga peran ini bisa dipertukarkan dengan
laki-laki?
- 2. Ketidaksetaraan jender merugikan perempuan.
Dalam perspektif feminisme, adanya ketidaksetaraan (disparitas)
jender dianggap sangat merugikan perempuan, karena ketidaksetaraan
inilah yang menyebabkan munculnya berbagai ketidakadilan sistemik atas
perempuan, seperti terjadinya praktik subordinasi dan marjinalisasi di
berbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya), pelabelan
negatif, maraknya kasus-kasus tindak kekerasan, dan lain-lain.
Secara faktual, klaim ini terbantah oleh kenyataan bahwa apa yang
disebut-sebut oleh kalangan feminis sebagai ‘persoalan perempuan’
ternyata tidak hanya menjadi ‘milik’ kaum perempuan. Tidak sedikit kaum
laki-laki yang juga mengalami subordinasi, marjinalisasi, tindak
kekerasan, dan lain-lain. Bahkan di Dunia Ketiga yang mayoritas Muslim,
persoalan-persoalan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan,
kebodohan, submission, kesehatan yang buruk, malnutrisi, dan
sebagainya kini menjadi persoalan-persoalan krusial yang dihadapi
masyarakat secara keseluruhan.
Islam sendiri memandang, bahwa persoalan yang muncul pada sebagian
individu—baik komunitas laki-laki maupun perempuan; apakah menyangkut
persoalan ekonomi, politik, sosial, dan bahkan persoalan yang memang
menyangkut aspek keperempuanan (seperti masalah kehamilan, kelahiran,
penyusuan, pengasuhan dan seterusnya)—tidak bisa dipandang sebagai
persoalan laki-laki saja atau perempuan saja, melainkan harus dipandang
sebagai persoalan manusia/masyarakat secara keseluruhan dengan pandangan
yang holistik dan sistemik. Dengan begitu, solusi yang dihasilkannya
pun akan menyelesaikan persoalan secara tuntas dan menyeluruh. Hal ini
sesuai dengan realita bahwa masyarakat bukan hanya sekadar terbentuk
dari individu saja, tetapi juga dari kesamaan pemikiran, perasaan, dan
aturan yang diterapkan disertai dengan adanya interaksi yang
terus-menerus di antara anggota-anggotanya yang terdiri dari laki-laki
dan perempuan. Dalam perspektif yang benar inilah syariat Islam datang
sebagai solusi/pemecah atas persoalan kehidupan manusia sehingga
manusia—yang realitasnya terdiri dari jenis laki-laki dan
perempuan—dapat meraih kebahagiaan hakiki sesuai dengan kemuliaan
martabat manusia yang telah dianugerahkan Allah Swt.
- 3. Liberalisasi perempuan akan memajukan perempuan.
Menurut pengusung ide, liberalisasi/pembebasan perempuan merupakan
pondasi untuk mencapai kemajuan, karena tatkala kaum perempuan berhasil
memperoleh kebebasan dan independensinya, berarti mereka telah keluar
dari status inferior yang mereka miliki selama ini, sekaligus
berkesempatan secara ekspresif mengejar ‘ketertinggalan’ tanpa harus
khawatir dengan pembatasan-pembatasan kultural dan struktural yang
dianggap menghambat kehidupan mereka.
Hal ini berbeda dengan pandangan Islam, untuk memajukan kaum
perempuan, bahkan umat secara keseluruhan, kuncinya adalah dengan
meningkatkan taraf berpikir mereka dengan ideologi Islam. Dengan cara
ini, mereka akan memiliki landasan pemikiran (qâ’idah fikriyah)
yang menjadi tolok ukur bagi segala bentuk pemikiran dan menjadi dasar
terbentuknya pemikiran-pemikiran yang lain yang dapat memecahkan problem
kehidupan, sekaligus merupakan tuntunan berpikir (qiyâdah fikriyah)
yang menuntun manusia dalam menghadapi segala problem kehidupan
tersebut setiap saat dengan pemecahan yang benar. Ini karena ideologi
Islam tegak di atas keyakinan bahwa seluruh alam ini, termasuk manusia
di dalamnya, diciptakan oleh Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur,
yaitu Allah Swt., Karena itu, aturan-aturan yang disampaikan Allah Swt.
melalui Rasul-Nya (syariat Islam) dipastikan akan menjadi pemecah bagi
seluruh persoalan manusia secara sempurna dan menyeluruh. Dengan begitu,
umat akan mampu bangkit menjadi pionir peradaban sebagaimana yang telah
terbukti pada masa lalu tatkala Islam dijadikan sebagai landasan
kehidupan umat dan syariatnya diterapkan.
4. Syariat Islam merendahkan kaum perempuan.
Isu ini berangkat dari pemahaman bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan tetap langgengnya ketidakadilan jender adalah budaya
patriarki yang di antaranya dilegitimasi oleh keberadaan pandangan
keagamaan yang dianggap bias jender (sexist) dan misoginis
(membenci perempuan). Dalam hal ini, Islam menjadi sasaran bidik utama.
Namun sebagian mereka menyatakan pemahaman masyarakat terhadap Islamlah
yang salah, yang—menurut mereka—terlanjur tersosialisasi oleh
kitab-kitab tafsir dan fikih yang tidak mustahil dipengaruhi oleh
tradisi dan kultur yang berlaku saat penafsiran tersebut dilakukan.
Karenanya, mereka pun menggagas keharusan adanya penafsiran-penafsiran
baru yang ‘senafas dengan tuntutan zaman’, yakni dengan melakukan
reinterpretasi dan rekonstruksi nash-nash syariat sehingga lebih memihak
pada kaum perempuan. Gagasan ini kemudian mereka klaim sebagai upaya
pembaruan (tajdid), sekalipun metode dan pendekatan tajdid yang mereka
kembangkan ternyata sangat berbeda dengan tradisi tajdid yang selama ini
dikenal dalam Islam.
Oleh karena itu, munculnya isu bahwa syariat Islam merendahkan kaum
perempuan harus disikapi dengan benar. Jika dalih yang mereka gunakan
adalah fakta bahwa kaum perempuan di dunia Islam berada dalam kondisi
terpuruk, maka harus dilihat bahwa pada kenyataannya saat ini tidak ada
satu pun negeri Islam yang menerapkan syariat Islam sebagai aturan
kehidupan yang utuh dan menyeluruh (kâffah). Justru berbagai
kerusakan dan ketidakadilan yang terjadi saat ini—termasuk di antaranya
yang menimpa perempuan—adalah akibat diterapkannya sistem yang salah dan
rusak di tengah-tengah kaum Muslimin, yakni sistem Kapitalisme yang
tegak di atas akidah sekularisme, yang telah memberikan kewenangan
secara mutlak kepada manusia dengan akalnya yang lemah dan terbatas
untuk membuat berbagai aturan/sistem kehidupan.
Dengan berbagai tantangan dan propaganda yang ada, hendaknya tidak
menyurutkan daya juang muslimah, namun justru menjadikannya sebagai
ladang dakwah yang luas untuk menuai pahala di sisi Allah SWT.
Dalam menghadapi ujian dan tantangan tersebut, seorang muslimah
hendaknya mengingat bahwa Allah SWT memang senantiasa memberi ujian pada
hamba-Nya, yakin bahwa Allah SWT akan makin mendekat kepada hamba yang
mendekat dan akan memberikan jalan keluar bagi hamba yang bertaqwa.
Dengan hal ini, seorang muslimah menjadi istiqamah dengan perjuangan
yang ditempuhnya.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
datang kepadamu (ujian, cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncang (dengan bermacam-macam cobaan) sampai-sampai berkatalah Rasul
dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Kapan datangnya pertolongan
Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
[TQS. Al Baqarah 214]
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan
baginya jalan keluar dan memberinya rizqi dari arah yang tidak
disangka-sangkanya.”
[TQS. Ath Thalaq 2-3]
Penutup
Jika Islam telah menetapkan masa depan generasi terletak di
tangan perempuan, tentu semua berharap seluruh perempuan menjadi
perempuan mulia. Hanya dengan itu, masa depan gemilang generasi Islam
ada dalam genggaman.
Hanya saja, menjadi perempuan mulia –yaitu yang menerapkan Islam secara kaaffah-
saat ini belum bisa diwujudkan karena kehidupan bermasyarakat dan
bernegara kita masih diatur dengan pengaturan selain Islam. Karenanya,
butuh langkah-langkah perubahan di tengah masyarakat agar penerapan
Islam secara kaaffah dapat terwujud, sehingga –berikutnya- dapat dihasilkan sosok-sosok mulia-yang berprestasi sesuai pandangan Allah SWT..
Di sinilah para muslimah yang sudah memiliki kesadaran, hendaknya
tiada henti untuk merubah diri menjadi lebih baik dan berdaya juang
tinggi, untuk terjun secara aktif dalam membuat perubahan di tengah
masyarakat. (www.syariahpublications.com)
Wallahu muwaafiq ilaa aqwaamith thariiq
Sumber : http://www.facebook.com/notes/arum-ihsan/muslimah-prestatif-berprestasi/153622917986569
0 komentar:
Posting Komentar